DUOMONEY

DUOMONEY

Jumat, 18 November 2011

Mengenal Pendidikan Inklusif

I.    PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

II. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah:  selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985). Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.

III. LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSI
Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.
A. Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.
C. Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
D. Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

IV. KONTROVERSI PENDIDIKAN INKLUSI
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).
A.    Pro Inklusi
Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain sebagai berikut:
•    Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
•    Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
•    Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak;
•    Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;
•    Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.

B.    Kontra inklusi
Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:
•    Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
•    Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;
•    Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;
•    Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Oleh karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
C.    Inklusi Moderat
Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti bahwa iswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi. (slbn-cileunyi.sch.id)

V. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI BERBASIS SEKOLAH PADA SEKOLAH LUAR     BIASA
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya.

VI.  IMPLIKASI MANAJERIAL INKLUSI
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:
1.  Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosialekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.
2.  Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
Pembelajaran di kelas inklusi akan bergerser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa, dan bahan belajar tematik.
3.  Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar dan mengajar dengan yang lain.
4.  Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
Meskipun guru selalu berinteraksi dengan orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi adalah pengejaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan paraprofessional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.
5.  Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.

VII. MODEL PENDIDIKAN INKLUSI PADA SEKOLAH LUAR BIASA
Alternatif Penempatan
Melihat kondisi dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000). Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada:
1.    jumlah anak berkelainan yang akan dilayani,
2.    jenis kelainan masing-masing anak,
3.    gradasi (tingkat) kelainan anak,
4.    ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta
5.    sarana-prasara yang tersedia.

VII. KOMPONEN PENDUKUNG PENDIDIKAN INKLUSI
Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar; sementara itu, mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1.  Input siswa,
Kemampuan awal dan karakteristik siswa menjadi acuan utama dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a.    Siapa input siswanya, apakah semua peserta didik berkelainan dapat mengikuti kelas reguler bercampur anak lainnya (anak normal)?
b.     Bagaimana identifikasinya?
c.     Apa alat identifikasi yang digunakan?
d.     Siapa yang terlibat dalam identifikasi
2.  Kurikulum (bahan ajar),
Kurikulum (bahan ajar) yang dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
•     Bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan anak yang beragam dalam kelas reguler yang sama?
•     Siapa yang mengembangkannya?
•     Bagaimana pengembangannya?
Adapun contoh kurikulum sekolah luar biasa (SLB) diantara lain ;
    Kurikulum
Pendekatan komunikasi menggunakan komunikasi secara oral-aural (bukan isyarat) dan metode pemerolehan bahasa Metode Maternal Reflektif (MMR/MPR) yang dicontoh dari Universitas Sint Micheel Gestel Belanda. Hal ini memungkinkan siswa mampu berbahasa dan berkomunikasi sebagai dasar untuk menguasai kompetensi yang lain.
Bidang kekhususan yaitu dengan memberikan treatment Bina Persepsi Bunyi dan Irama (BPBI), Auditory Verbal dan Bina Wicara secara kontinyu dan konsisten.
Bidang pengembangan keterampilan  :
•    Tata boga
•    Tata busana
•    Tata rias dan kecantikan
•    Membatik
•    Sablon
•    Komputer
•    Melukis
•    Sanggar kreatifitas
•    Mulai dari produk sampai pada pemasarannya.
•    Bidang Pengembangan Budi Pekerti (mental spiritual) meliputi  :
1)    Kegiatan kepramukaan
2)    Pembinaan seksualitas
3)    Keagamaaan (Keyakinan)
4)    Budi Pekerti
5)    Widyawisata, filltrip, dll.

    Jenjang Pendidikan
Jenjang Pendidikan dan Program Unggulan Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu memiliki jenjang  :
1.    Treatment dan Therapy tumbuh kembang anak yaitu penanganan pendidikan anak bermasalah dalam perkembangannya.
2.    Jenjang Taman Latihan (Taman/Playgroup) untuk anak 1,5 – 4 tahun.
a)    Jenjang TKLB untuk anak 4 – 6 tahun.
b)    Jenjang SDLB untuk anak 7 – 15 tahun.
c)    Jenjang SMPLB untuk anak 16 – 18 tahun.
d)    Jenjang SMALB untuk anak 18 – 21 tahun.

3.    Waktu belajar :
•    untuk jenjang TLO Pagi hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 10.00.
•    untuk jenjang TLO Siang hari Senin – Jumat, pukul 10.00 – 12.00.
•    untuk jenjang TKLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
•    untuk jenjang SDLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
•    untuk jenjang SLTPLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
•    untuk jenjang SMALB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
•    untuk jenang Kelas Khusus hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
Dari seluruh jenjang tersebut di atas yang menjadi program andalan (core business) adalah “Kemampuan Wicara”  siswa tunarungu. Dasar pemilihan Core Business adalah :
a.    Program yang diminati oleh stakeholders (siswa, orangtua siswa) dan sekolah calon integrasi.
b.    Prestasi Wicara yang dicapai dalam proses pembelajaran dan pelatihan.
c.    Prestasi Wicara yang dicapai dalam upaya berintegrasi pada sekolah umum.
d.    Pemanfaatan dan pengoptimalan kepekaan sisa-sisa pendengaran siswa.
e.    Tersedianya kualitas tenaga kependidikan.
4.    Tenaga kependidikan (guru/instruktur/ pelatih),
Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih/therapist dsb.) yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa.
5.     Sarana-prasarana,
Sarana-prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah dikembangkan.
-    Sarana-Prasarana Umum
a.    Ruang kelas beserta perlengkapannya (perabotnya);
b.    Ruang praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya;
c.    Ruang perpustakaan, beserta perangkatnya;
d.    Ruang serbaguna, beserta perlengkapannya;
e.    Ruang BP/BK, beserta perlengkapannya;
f.    Ruang UKS, beserta perangkatnya;
g.    Ruang Kepala Sekolah, Guru, dan Tata Usaha, beserta perabotnya;
h.    Lapangan olahraga, beserta peralatannya;
i.    Toilet;
j.    Ruang ibadah, beserta perangkatnya;
k.    Ruang kantin

-    Sarana Khusus
a.  Alat Asesmen
•    SVR Trial Lens Set
•    Snellen Chart
•    Ishihara Test
•    Snellen Chart Electronic
b.  Orientasi dan Mobilitas
•    Tongkat panjang
•    Tongkat lipat
•    Blind fold
•    Bola bunyi
•    Tutup kepala
c.  Alat Bantu Pelajaran/Akademik
•    Globe Timbul
•    Peta Timbul
•    Abacus
•    Penggaris Braille
•    Blokies (Sejumlah dadu dengan simbol braille dengan papan berkotak)
•    Puzzle Ball
•    Papan Baca
•    Model Anatomi Mata
•    Meteran Braille
•    Puzzle Buah-buahan
•    Puzzle Binatang
•    Kompas Braille
•    Talking Watch
•    Gelas Rasa
•    Botol Aroma
•    Bentuk-bentuk Geometri
•    Collor Sorting Box
•    Braille Kit
•    Reglets & Stylush
•    Mesin Tik Biasa
•    Mesin Tik Braille
•    Komputer dan Printer Braille
•    Kompas bicara
•    Kamus bicara
d.  Alat Latihan Fisik
•    Catur Tunanetra
•    Bridge Tunanetra
•    Sepak Bola dengan Bola Berbunyi
•    Papan Keseimbangan
•    Power Raider
•    Static Bycicle

6.     Dana,
Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah reguler memerlukan dukungan dana yang memadai. Untuk itu dapat ditanggung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa, serta sumbangan suka rela dari berbagai pihak.
Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a.    Dari mana sumber dana untuk operasional sekolah inklusi?
b.    Untuk keperluan apa saja dana tersebut?

7.     Manajemen (pengelolaan),
Penyelenggaraan pendidikan inklusi memerlukan manajemen yang berbeda dengan sekolah reguler. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a.    Bagaimana manajemennya?
b.    Siapa saja yang dilibatkan?
c.    Apa tugas dan fungsinya?

8.     Lingkungan (sekolah, masyarakat, dan keluarga),
Agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan maka lingkungan belajar dibuat sedemikian rupa sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung secara aman dan nyaman. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a.    Bagaimana lingkungan sekolahnya?
b.    Bagaimana lingkungan sekitaranya?
c.    Bagaimana lingkungan rumah tangganya?
d.     Upaya apa yang dilakukan dalam rangka meningkatkan peranserta masyarakat dan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan di sini?

9.     Proses Belajar Mengajar
Proses belajar-mengajar lebih banyak memberikan kesempatan belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Implikasinya yang perlu dipikirkan adalah akomodasi bagi murid berkebutuhan khusus berarti bahwa sebaiknya Anda membuat instruksi Anda seefektif mungkin. Berikut beberapa cara melakukannya:
a)    Berfokuslah pada hal-hal inti
Ini berarti: guru dapat membantu murid lebih mudah belajar, jika ia sendiri memahami apa hal inti ini yang perlu diketahui atau mampu dilakukan murid setelah suatu pelajaran selesai. Sebagian materi pengajaran memberikan informasi ini, tetapi penting bahwa Anda memahami apa tepatnya yang ingin Anda ajarkan kepada murid.
b)     Gunakan langkah dan strategi yang jelas
Ini berarti: guru dapat membantu murid lebih mudah mempelajari konsep atau keterampilan baru, dengan cara mengajari mereka mengikuti serangkaian prosedur atau langkah. Langkah-Iangkah ini sebaiknya mencerminkan cara yang efisien dan efektif untuk menerapkan sebuah konsep atau menyelesaikan sebuah tugas, sebagaimana yang dilakukan seorang ahli.
c)      Memberikan bantuan sementara
Bantuan sementara bisa berupa hal-hal seperti:
•    Petunjuk lisan
•    Menstabilo informasi atau diagram secara visual
•    Jenis bantuan lain yang digunakan murid untuk mulai membangun pengetahuan dan kecakapan mereka dalam sebuah keterempilan.
d)      Kaitkan hal yang sedang dipelajari dengan pengetahuan latar
e)      Ulangi pelajaran agar murid fasih dan mampu melakukan generalisasi

KESIMPULAN
Jadi pada dasarnya pendidikan berbasis sekolah pada sekolah luar biasa adalah sebuah wadah yang progresif untuk menampung anak-anak yang mempunyai kelainan. Dengan adanya program pendidikan inklusi yang berbasis sekolah pada sekolah luar biasa diharapkan dapat menjawab pertanyaan dari kalangan masyarakat yang mempunyai anak yang cacat. Tapi itu semua tidak akan terwujud ketika semua komponen yang bersangkutan dengan sekolah luar biasa tidak terpunuhi.
Adapun standar minimum komponen untuk mencapai target bahwa pengelolaan pendidikan inklusi sekolah luar biasa dapat terwujud diantara lain :
•    Struktur kepengurusan diharapkan standar organisasi
•    Manajerial bahan pengajar (kirikilum), dan pendidiknya harus sesuai dengan kapasitasnya.
•    Sarana dan prasarana yang menunjang.
•    Dari segi lingkungan diharapkan seimbang, akademik, keluarga, dan masyarakat.
•    Dari segi finansial yang cukup.

PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, ada kalanya harapan pemakalah terhadap perkembangan dunia pendidikan sekolah luar biasa (SLB) mohon pemerintah untuk mananggapi dengan serius agar warga masyarakat yang telah banyak mengalami kelainan dapat di didik sesuai potensi masing-masing. Serta dapat mengatasi atau manjawab permasalahan yang muncul dari dampak perkembangan globalisasi yang memicu untuk selalu siap bersaing.

Tindak Kekerasan Terhadap Anak

Oleh : M. Khusni Mubarok
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah malang

Artikel ini untuk memenuhi tugas akhir semester untuk mata kuliah Pendidikan Budi Pekerti SD.


A. Pendahuluan

    “ Peristiwa kekerasan yang terjadi meningkat tajam. Hampir setiap hari media massa menayangkan berbagai bentuk kekerasan seperti demo anarkis, perkelahian antarmahasiswa, kekerasan remaja, penganiayaan orang tua terhadap anaknya atau sebaliknya anak membunuh orang tua, dll.
    Salah satu indikasi meningkatnya kekerasan di masyarakat adalah laporan bahwa dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas terus bertambah. Akhir-akhir ini dengan alasan sendiri-sendiri telah muncul anggapan bahwa kekerasan adalah alat terampuh guna memperoleh apa yang diinginkan.
    Kita merasa prihatin melihat kenyataan di atas. Bagaimana mungkin masyarakat kita yang sejak zaman dahulu dikenal ramah, sopan santun, dan penyabar telah berubah menjadi mudah tersinggung dan marah serta agresif. Di sini pasti ada sesuatu yang salah dan perlu segera diluruskan. “

    Kutipan di atas merupakan satu pertanyaan yang diajukan oleh seorang mantan guru yang telah lama pensiun, berinisial Tn. B, kepada psikiater dr. Teddy Hidayat, Sp.K.J dalam rubrik Konsultasi Kesehatan Jiwa di surat kabar Pikiran Rakyat (Sabtu, April 2008). Suatu pertanyaan yang mungkin pernah atau sedang terlintas dalam benak kita menyikapi berbagai keadaan kehidupan di sekitar kita khususnya berkenaan dengan tindak kekerasan.


B. Definisi :

    Sebelum menjelaskan lebih lanjut, penulis ingin menyampaikan dulu beberapa pengertian tentang tindak kekerasan terhadap anak agar diperoleh kesamaan pemahaman tentang pokok yang dimaksud. Di masyarakat, tindak kekerasan terhadap anak lebih dikenal dengan istilah penganiayaan anak.

•   Menurut Kaplan, tindak kekerasan adalah tiap bentuk perilaku menyakiti atau  melukai orang lain.

•   Menurut Atkinson, tindak kekerasan adalah perilaku melukai orang lain, secara verbal (kata-kata yang sinis, memaki dan membentak) maupun fisik (melukai atau membunuh) atau merusak harta benda.
•   Menurut UU RI No. 23 Th. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal. 2 :
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

•   Menurut UU RI No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak, hal. 56-57 :
a)  Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b) Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c) Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri. Atau ayah dan/atau ibu angkat.
d) Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua anak.

•   Penganiayaan Anak merupakan tindak kekerasan pada anak - yang dilakukan oleh orang tuanya, pengasuh (wali), atau orang dewasa lainnya yang bertanggung jawab memeliharanya – dalam bentuk kekerasan secara fisik, pelecehan seksual, kekerasan secara emosional atau menelantarkan kebutuhan dasar anak.


C. Jenis Tindak Kekerasan

Richard J. Gelles, Ph.D – Kepala Sekolah Pekerja Sosial dari Universitas Pennsylvania - menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis tindak kekerasan pada anak, dan bahkan sejumlah anak mengalami lebih dari satu jenis tindak kekerasan.

1. Tindak kekerasan secara fisik
Mencakup tindakan secara sengaja yang melukai atau bahkan membunuh seorang anak. Luka-luka, patah tulang, atau memar-memar pada seorang anak dapat menjadi tanda tindak kekerasan secara fisik.

2. Tindak kekerasan secara seksual
Terjadi ketika orang dewasa memanfaatkan anak-anak untuk kepuasan seksual atau memaksanya melakukan tindakan seksual. Tindakan ini dapat diawali dengan ciuman atau belaian dan berlanjut dengan tindakan seksual, seperti oral seks dan penetrasi pada vagina atau anus (sodomi).

3. Tindak kekerasan secara emosional
mencakup ucapan secara berulang pada diri anak dalam bentuk teriakan, ancaman, dan kritik-kritik yang menghina dan mempermalukan. Hal ini dapat menghancurkan harga diri anak. Bentuk lainnya adalah kurungan, seperti mengunci anak dalam kamar mandi yang gelap, dan isolasi sosial, seperti menolak kehadiran teman-temannya.

4. Menelantarkan pemeliharaan anak

a)  Menelantarkan secara fisik
Mencakup kegagalan orang tua untuk memberikan makanan yang cukup, pakaian, tempat berteduh, atau perawatan medis pada seorang anak. Hal itu mencakup juga kurangnya pengawasan dan perlindungan pada anak dari hal-hal yang membahayakan.

b) Menelantarkan secara emosional
Terjadi ketika orang tua atau pengasuhnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar anak akan kasih sayang dan rasa nyaman. Contoh-contoh menelantarkan secara emosional mencakup perilaku yang dingin, membuat jarak dan tidak menunjukkan kasih sayang kepada anak, membiarkan anak menyaksikan tindak kekerasan ayah terhadap ibu atau sebaliknya secara terus-menerus, membiarkan seorang anak mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan, dan mendorong anak berbuat jahat.


D. Tujuan Tindak Kekerasan

Psikiater dr. Teddy Hidayat, Sp.K.J menjelaskan bahwa secara umum tindak kekerasan mempunyai tujuan lain yang lebih penting dari sekedar melukai atau menelantarkan korban, misalnya :
    1. Untuk mempertahankan harga diri.
    2. Usaha memaksakan atau mempengaruhi orang lain agar mengikuti kehendaki pelaku.
    3. Untuk mempertahankan atau meningkatkan wewenang dan kekuasaan pelaku.


E. Faktor-Faktor Penyebab

Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya. Masyarakat sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya mengalami kelainan jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya menyayangi anak-anaknya namun cenderung bersikap kurang sabar dan kurang dewasa secara pribadi. Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau emosional.
Namun, tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal itu terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya. Menurut Richard J. Gelles, Ph.D faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat dikelompokkan dalam empat kategori utama :
    1. Penyebaran perilaku jahat antar generasi.
    2. Tekanan sosial.
    3. Isolasi sosial.
    4. Struktur keluarga.

1.    Penyebaran perilaku jahat antar generasi
Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai model ketika mereka menjadi orang tua kelak.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.

2.    Ketegangan Sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :
• Pengangguran.
• Sakit-penyakit.
• Kemiskinan dalam rumah tangga.
• Ukuran keluarga yang besar.
• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
• Kematian anggota keluarga.
• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

3.    Isolasi sosial
Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan dalam keluarga.
Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.

4.    Struktur Keluarga
Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak kekerasan pada anak. Sebagai contoh :

•   Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.

•    Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.

•    Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.

F. Dampak Pada Anak-Anak
Akibat dari tindak kekerasan dan menelantarkan anak dapat menghancurkan dan mungkin lebih jauh lagi.

•    Psikolog Yuni Megarini, S.Psi, menyatakan bahwa anak akan mencontoh apa yang telah disaksikan selama bertahun-tahun bersama dengan orang tuanya. Pada tingkat ekstrim akan mengubah kepribadian anak.

•    Luka-luka fisik seperti memar, goresan, dan luka bakar hingga kerusakan otak, cacat permanen, dan kematian.

•    Efek psikologis dapat berlangsung seumur hidup dan mencakup perasaan rendah diri, ketidakmampuan untuk berhubungan dengan kawan sebaya, konsentrasi berkurang, dan kemunduran prestasi dalam belajar.

•    Penyakit fisik seperti depresi, sangat gelisah, atau kekacauan identitas, selain meningkatkan risiko bunuh diri. Masalah-masalah perilaku sering muncul setelah tindak kekerasan, termasuk tindakan pelanggaran dan kriminalitas pada anak-anak muda.

•    Anak-anak yang mengalami tindak kekerasan secara seksual dapat menunjukkan perilaku yang tidak lazim, seperti masturbasi. Pengaruh jangka panjang mencakup depresi, rendah diri dan masalah-masalah seksual, seperti menghindari kontak seksual, bingung mengenai seksualitas, atau melibatkan diri dalam pelacuran.

•    Dalam buku “Pemulihan Orang Tua dan Anak” karya Ir. Jarot Wijanarko, pada halaman 16-18 terdapat suatu tabel aksi-reaksi yang menghubungkan sikap / perilaku orang tua dengan tanggapan anak, sebagai berikut :

Aksi Orang Tua:
1. Tidak menepati janji.
2. Tidak mengaku salah.
3. Menolak untuk meminta maaf.
4. Tidak memiliki urutan prioritas.
5. Mendisiplin terlalu keras.
6. Mendisiplin dengan kemarahan.
7. Mendelegasikan pendidikan.
8. Memberi kebebasan berlebihan.
9. Tidak menghormati orang tua.
10. Mengirim orang tua ke Panti Jompo.
11. Suami tidak mengasihi istri.
12. Istri memberontak suami.
13. Menolak Firman Allah.
14. Selalu memuji anak lain.
15. Terlalu “diam”.
16. Tidak konsisten standar kehidupan.
17. Menyeleweng dalam pernikahan.
18. Selalu mengingat kesalahan.
19. Tidak memiliki kesaksian.
20. Tidak memberikan pendidikan rohani, materi, pelit.
21. Mengutamakan pekerjaan.
22. Mengancam.
23. Menekan, menyalahkan.
24. Memanjakan.
25. Tidak memperhatikan anak.

Reaksi Anak
1. Hati terluka.
2. Kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan orang tua.
3. Bereaksi terhadap kesombongan mereka dan kehilangan figur / teladan.
4. Merasa ayah terlu sibuk buat anaknya. Anak mengikuti, menjadi serabutan.
5. Hancur hati.
6. Memendam benih kekecewaan dan kepahitan.
7. Tidak menghargai orang tua sebagai figur / guru.
8. Melihat kebebasan sebagai penolakan dan ketidak-perhatian orang tua.
9. Anak tidak menghormati kakek-neneknya.
10. Anak akan menolak orang-orang yang lebih tua / kurang ajar.
11. Anak melawan ibunya. Anak kecewa / kepahitan dengan ayahnya.
12. Anak melawan ayahnya atau kecewa / kepahitan dengan ibunya / kehilangan figur
13. Hal yang sama dilakukan, tidak bisa takut akan Tuhan, cenderung nakal, susah dididik.
14. Merasa tertolak, minder, dan rendah diri.
15. Mencari “penerimaan diri” dari teman-teman.
16. Menjauh dari orang tua.
17. Kebencian, kehilangan figur. Menikah untuk “keluar” dari rumah.
18. Justru akan melakukan lagi, merasa tertantang untuk hal itu. Anak tidak pernah belajar
      arti pengampunan. Anak merasa ditolak secara pribadi.
19. Mengikuti norma dan etika dunia.
20. Anak tumbuh duniawi.
21. Membangun nilai hidup atas dasar hal-hal yang sementara.
22. Membenci, memberontak.
23. Menekan, menyalahkan adik-adiknya sebagai penyaluran.
24. Liar.
25. Mencari perhatian dengan nakal, usil, aktif dan berbagai kegiatan ekstrim.


G. Penanggulangan
Meskipun mengalami tindak kekerasan, anak-anak yang mengalami hal ini pada umumnya tidak menunjukkan tanda-tanda gangguan yang ekstrim, dan banyak yang dapat menutupi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Sejumlah faktor dapat membantu menghindarkan anak dari akibat-akibat penganiayaan. Hal ini mencakup :

1. Aspek Psikologis
a. Peningkatan kecerdasan.
b. Penerimaan anak dengan baik.
c. Temperamen yang baik.
d. Membina hubungan yang akrab.

2. Penempatan anak-anak
Penanganan untuk anak yang telah dianiaya atau diterlantarkan biasanya mempunyai dua pilihan, yaitu :
a.  Memisahkan anak dari orang tuanya dan menempatkan dengan kerabatnya, panti asuhan, atau departemen sosial.
b.  Menempatkan anak dengan orang tuanya dan memberikan dukungan sosial pada keluarga itu, seperti konseling, makanan, dan pelayanan pemeliharaan anak.

Keputusan untuk memisahkan secara sementara seorang anak dari orang tua pelaku tindak kekerasan harus mempertimbangkan risikonya. Anak mungkin tidak memahami mengapa dia diungsikan dari rumahnya dan bahkan tidak menyadari bahwa dia sedang dianiaya atau ditelantarkan, sehingga pemisahan sementara tersebut dapat memberikan kesan pada anak bahwa dia telah melakukan suatu kesalahan dan sedang dihukum.

Hal lainnya yaitu kesulitan menemukan tempat yang sesuai untuk kondisi anak seperti ini karena sering anak memerlukan perhatian yang khusus. Jika anak tersebut menjadi beban bagi kerabatnya atau suatu lembaga, risiko penganiayaan mungkin lebih besar besar daripada tinggal dengan orang tua kandungnya.

Namun demikian, ada juga risiko membiarkan anak tetap tinggal bersama orang tua yang menganiayanya. Dukungan pelayanan mungkin tidak menyelesaikan masalah yang menimbulkan kekerasan dan anak akan dianiaya kembali atau bahkan dibunuh.


3. Program Pencegahan Dan Perawatan

•   Program pencegahan yang dimaksud mencakup identifikasi para orang tua yang berisiko tinggi melakukan tindak kekerasan – seperti pasangan muda, orang tua tunggal, wanita yang menjadi ibu petama kali – dan memberikan pelatihan ketrampilan, konseling, pendidikan, dan dukungan sosial, agar dapat berkomunikasi secara efektif sehingga tidak memilih cara yang kasar untuk mengekspresikan dirinya.

•   Berkaitan dengan program pencegahan, dr. Teddy Hidayat, Sp.K.J memberikan pandangan bahwa penatalaksanaan kekerasan lebih utama dilakukan pada upaya pencegahan dengan menghilangkan atau mengurangi penyebabnya. Misalnya :
a.  Masyarakat frustasi karena sulit mencari sesuap nasi atau sulit mendapat   pekerjaan, maka pencegahannya menyediakan lapangan kerja agar mereka mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
b.  Bila ditengarai bahwa kekerasan pada anak ada hubungannya dengan tayangan TV atau permainan komputer, maka tayangan dan permainan tersebut harus ditertibkan atau perlu dibatasi tayangannya.

•    Program perawatan mencakup pengendalian terhadap kematian, kecacatan akibat perilaku kekerasan. Bila mengalami gangguan psikiatrik, korban harus menjalani pengobatan.

Kamis, 17 November 2011

kondisi pendidikan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang paling penting di dalam penentuan masa depan suatu bangsa dimana pendidikan adalah sebagai suatu alat atau metode untuk membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Pendidikan menurut Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bertujuan mencerdasksn kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Sukses tidaknya dunia pendidikan bergantung pada peserta didik, tenaga pendidik dan pemerintah. Disini di tuntut peran pemerintah dalam memperhatikan dunia pendidikan dalam artian pemerintah berusaha meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dengan mempersiapkan tenaga pendidik yang profesional. Makna fundamental yang terkandung dalam UUD 1945 adalah kekuatan dan kemajuan suatu bangsa terletak dalam kualitas sumber daya manusianya. Kata kunci pengembangan sumber daya manusia ialah "pendidikan" bagi seluruh warga negara yang berlangsung sepanjang hayat sejak dari dalam keluarga, di sekolah, dan di dalam kehidupan secara keseluruhan.

Indonesia dengan 210 juta penduduknya, merupakan salah satu negara yang tingkat kualitas pendidikannya masih memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Abad 21 merupakan abad pengetahuan dimana pengetahuan akan menjadi landasan utama segala asperk kehidupan. Abad pengetahuan sangat berpengaruh terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lapangan kerja. Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius tentang kondisi pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada pendidikan yang difokuskan pada tiga masalah inti yaitu sebagai berikut:
1.    Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
2.    Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
3.    Bagaimana solusi yang dapat diberikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia?

1.3    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka tujuan masalah yang diangkat adalah :
1.    Mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
2.    Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
3.    Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Kualitas Pendidikan di Indonesia
Berbicara tentang pendidikan, kualitas pendidikan di Indonesia saat ini pada abad ke 21 seperti bermain poco – poco. Beberapa bidang mengalami kemajuan dan ada yang mengalami kemunduran.
2.1.1    Kemajuan di bidang pendidikan, yaitu :
1.    Sertifikasi guru dan dosen yang dapat memperbaiki kualitas pendidik serta meningkatkan kesejahteraan pendidik.
2.    Adanya dana BOS dan banyak beasiswa bagi peserta didik.
3.    Peningkatan mutu kualitas dari sekolah, seperti adanya SBI ( Sekolah Berstandar Internasional ).
4.    Adanya website untuk siswa men-download buku dari internet yang dibuat pemerintah dan buku khusus pemerintah yang bisa diperjualbelikan bebas.
5.    Adanya paket – paket yang diperuntuhkan bagi yang buta huruf, dan sekolah terbuka.
6.    Adanya perpustakaan keliling.

2.1.2 Kemunduran di bidang pendidikan, yaitu :
1.    Pergantikan kurikulum membuat siswa dan pendidik sulit beradaptasi, materi pelajaran terbengkalai karena belum rampung dengan baik.
2.    Harga pendidikan yang ditengarai gratis, masih banyak membuat wali murid merasa gerah karena tidak mampu melunasi keuangan.
3.    Pemerintah masih sulit menjalankan UU tentang pendidikan yang menetapkan anggaran untuk pendidikan minimal 20 %.
4.     Banyak penyimpangan, mislanya penyogokan agar bisa diterima di sekolah tersebut.
5.    Sekolah di daerah terpencil masih sulit mengenyam pendidikan, ini mengakibatkan kurang meratanya kualitas pendidikan yang baik.

Keadaan seperti itu sedang dialami bangsa Indonesia. Kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

2.2    Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi dalam pendidikan.

2.2.1    Efektifitas dalam Pendidikan
 Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi pada aplikasi pendidikan di Indonesia masih banyak yang masih semrawut. Mulai dari jam pengajaran, metode pengajaran serta ketidakjelasan gambaran tentang proses pendidikan. Jelas ini menyebabkan tidak efektifnya dalam proses pendidikan, karena tidak tercapainya tujuan pendidikan.

2.2.2    Efesiensi dalam Pendidikan
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.

Beberapa contoh dari efesiensi dalam pendidikan adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses belajar mengajar, serta mutu pendidikan. Biaya pendidikan tidak hanya menyangkup biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah kursus dan bimbingan belajar. Tetapi properti yang mendukung proses belajar mengajar. Misalnya buku penunjang, LKS dan alat tulis.

Selain itu masalah efesien waktu juga hal penting. Di Indonesia jadwal untuk bertatap muka dengan peserta didik relatif lama dibandingkan dengan negara negara lainnya. Tetepi pada kenyataannya masih banyak peserta didik yang masih berusaha untuk mengikuti jam tambahan, les, kursus dan bimbingan belajar informal lainnya.

2.2.3    Standarisasi Pendidikan
Dunia pendidikan selalu berubah, begitu pula dengan standarisasi pendidikan di Indonesia. Di dalam era globalisasi pendidik dan peserta didik dituntun untuk memenuhi standarisasi kurikulum dan globalisasi. Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu :
a)    Rendahnya profesionalisme guru.
Pembahasan tentang profesi melibatkan beberapa istilah yang berkaitan yaitu : profesi, profesionalisme, profesionalitas, profesionalisasi dan (Abin Syamsudin Makmun, 1999). Kadang kala seorang pendidik masih belum bisa membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Dan juga belum memahami jati diri sebagai pendidik. Sehingga profesi seorang pendidik masih belum sempurna.
b)    Rendahnya sarana fisik.
Kebutuhan bagi peserta didik untuk menunjang proses belajar mengajar disebut juga sarana fisik. Meja, kursi, dan perlengkapan belajar mengajar. Namun masih banyak kita lihat sekolah di daerah yang sulit dijangkau oleh modernisasi masih kekurangan sarana bahkan sarana penunjang proses belajar mengajar masih kurang layak.
c)    Rendahnya kesejahteraan guru.
Kesejahteraan guru ini erat kaitannya dengan semangat profesionalisme guru, sehingga apabila kesejahteraan guru masih kurang layak maka akan berdampak pada kualitas pendidikan.


d)    Rendahnya hasil belajar  siswa.
Hasil belajar adalah award yang dihasilkan oleh peserta didik dari melalui proses belajar mengajar. Di Indonesia hasil belajar yang masih rendah ini dikarenakan oleh faktor – faktor profesionalisme guru, fasilitas, pendidik dan peserta didik.
e)    Mahalnya biaya pendidikan.
Mahalnya pendidikan ini adalah masalah yang berangsur – angsur belum rampung . Meskipun sudah dianggarkan oleh pemerintah dana APBD sebesar 20 % tetapi pada aplikasinya masih sulit untuk terleasisasi. Dana BOS yang beberapa akhir ini sudah mulai terdengar sudah sedikit membantu peserta didik untuk bisa mengenyam pendidikan selakyaknya

2.3    Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu :

2.3.1    Solusi Sistematik
Yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme, yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan – berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

2.3.2    Solusi Teknis
Yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

3.2    Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.



DAFTAR ISI

Percival, Fred & Ellington, Henry. 1988. Teknologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga.

Syamsudin, Abin. 2006. Profesi Keguruan 2. Jakarta : Universitas Terbuka.

Suciati, dkk. 2007. Belajar & Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.


Suwignyo, Heri, Santoso, Anang. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang : UMM.

2009. Masalah Pendidikan. http://www.pdf-search-engine.com/ masalah-pendidikan.html. Diakses tanggal 22 Oktober 2009.

2008. Pendidikan di Indonesia. http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAINBAHASAEXTN/0,,contentMDK:21879716~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:447244,00.html.  Diakses tanggal 22 Oktober 2009.





PEMBAHARUAN PENDIDIKAN INDONESIA

Pendahuluan
    Tidak bisa diragukan lagi bahwa manusia tak akan terlepas dengan mengeksplorasi segala sumber daya yang dimilikinya. Dengan cara melakukan segala daya dan kemampuannya untuk selalu melakukan pembaharuan menemukan sesuatu yang baru yang dapat membuat hidupnya lebih baik lagi. Jika manusia tidak menggali segala kemampuannya maka ia kan tertingggal bahkan tergerus oleh zaman yang selalu berkembang.
    Dalam dunia pendidikan, pembaharuan adalah hal yang mutlak dilakukan karena  tanpa pembaharuan akan terjadi kebuntuan pada dunia pendidikan yang berimbas pada elemen-elemen kehidupan lain seperti  politik, ekonomi, social, dan lain-lain.


Pembahasan
A.    Mendefinisikan Ulang Pendidikan
Sebelum membahas pembaharuan pendidikan, terlebih dahulu perlu diketahui pengertian pendidikan. Secara tegas, pendidikan adalah salah satu media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ke dalam era aufklarung (pencerahan). Pendidikan bertujuan untuk membangun tatanan bangsa yang berbalut dengan nila- nilai kepintaran, kepekaan, dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan juga sangat berperan dalam mengentaskan kemiskinan pengetahuan, menyelesaikan persoalan kebodohan, dan menuntaskan segala permasalahan bangsa yang sedang dialami.
Menurut Romo Mangun Wijaya,” Pendidikan adalah proses awal usaha untuk menumbhkan kesadaran social pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah”. Kesadaran social hanya akan tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia di sekitar mereka. Sebagai usaha untuk menambahkan kesadaran social, maka perlu adanya perangkat analisis yang bersumber dari kebebasan berpikir dari masing- masing individu yang pada akhirnya memberikan daya nalar yang kritis terhadap perkembangan social yang ada. Sementara Jean Piager mendefinisikan Pendidikan sebagai penghubung dua sisi. Di satu sisi, individu yang sedang tumbuh dan disisi lain, nilai social, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidikan untuk mendorong individu tersebut dalam hal kebebasan berpikir dan kemandirian. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang.  Merujuk dari dua pemikir tersebut, pendidikan sesungguhnya berupaya guna membangun kesadaran social kemasyarakatan yang tinggi terhadap masyarakat ataupun anak didik agar mereka menjadi peka dan peduli tehadap realitas social. Pendidikan mengarahkan pada terbangunnya paradigm berpikir secara kongkrit dan riil dengan sesuatu yang sedang terjadi dalam persoalan social kemasyarakatan.


SEJARAH DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
       Perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia telah berlangsung dalam empat era yaitu:
1). Era kolonial
2). Era Orde Lama
3). Era Orde Baru
4).Era Reformasi
    Pada jaman kolonial, pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak diragukan mutunya. Sungguh pun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat yang berhasil menjadi pemimpin gerakan nasional. Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa. Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakan bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Oleh sebab itu di dalam Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikaan nasional untuk rakyat, untuk semua bangsa.
Pada masa revolusi, pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Pada masa Orde Lama, sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada masa Orde Lama. Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.

Dalam era Orde Baru, dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan.
Dalam era pembangunan nasional selama lima REPELITA yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan. Maka kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya.
Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk.  Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah .
    Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI.
B.    Pembaharuan Pendidikan di Indonesia
    Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang pertikaian dan manusia-manusia yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit, mementingkan diri dan kelompok. Kalau kita mengamati pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa fenomena dan indikasi yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi. Fenomena dan indikasi tersebut antara lain: Rendahnya mutu dan tingkat pendidikan para tenaga pengajar di semua jenjang pendidikan, rendahnya kemampuan sarjana-sarjana Indonesia, Dekadensi moral di kalangan mahasiswa dan pelajar, factor keuangan (financial) yang jauh dari cukup, factor social, politik, dan masih banyak lagi. Beberapa fenomena yang tergambar tentu saja didasari oleh beberapa kemungkinan yang menjadi factor pemicu atau penyebab , diantaranya :
1.    Kemampuan Ilmiah
Yang dimaksud kemampuan ilmiah di sini adalah kapabilitas seseorang untuk melakukan sebuah aktifitas yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Seperti penguasan terhadap metodologi riset, perangkatperangkat riset baik yang berupa perangkat lunak (software) seperti referensi maupun perangkat keras (hardware) seperti mesin dan sebagainya. Semua komponen ini jarang terpenuhi karena factor ekonomi, waktu dan kesempatan dan skill para sarjana dalam menggunakannya.
2.    Kesempatan
Kebanyakan para mahasiswa atau sarjana terlanjur sibuk dengan banyak aktifitas rutin harian yang menyita hampir seluruh waktu yang dimilikinya. Sehingga sangat sulit untuk mencari peluang dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan ilmiahnya. Apalagi peluang untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidaklah mudah. Persaingan dan biaya yang tinggi sering penjadi penghalang dihadapan para sarjana untuk melanjutkan studi mereka. Sementara itu peluang untuk mengganti spesialisasi lain ataupun menambah spesialisasi lebih dari satu baik di tingkat S1 maupu ditingkat S2 dan S3 sangat kekecil kemungkinannya karena batasan umur yang mengikat, biaya yang mahal dan peraturan yang kurang mendukung.
3.    Faktor Ekonomi
Kondisi ekonomi rakyat baik sebelum krisis apalagi setelah krisis merupakan faktor yang dominan yang menyebabkan timbulnya fenomena di atas. Apalagi pendidikan telah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Sehingga banyak konglomerat menginvestasikan uangnya di bidang ini. Sementara itu anggaran pendidikan nasional tidak mampu mengatasi problema ini karena jumlahnya yang masih jauh dari cukup. Maka kita lihat semua sarana pendidikan milik pemerintah mulai dari tingkat SLTP sampai perguruan tinggi tidak ada yang gratis. Gejala di atas berakibat banyaknya rakyat yang tidak mendapatkan pendidikan sampai ketingkat yang lebih tinggi. Kalaupun ada, kebanyakan hanya bertahan sampai jenjang S1. Rata-rata terbentur oleh kondisi finansial mereka yang sangat tidak mendukung. Padahal dari segi kecerdasan banyak yang potensial.
4.    Faktor Politik
Dalam masa orde baru ada kecendrungan para penguasa untuk mempolitisir pendidikan demi kesinambungan kekuasan mereka, dengan mengabaikan kemajuan rakyat. Contoh sederhana dapat kita lihat pada penanaman nilai-nilai nasionalisme. Nasionalisme perlahan-lahan berubah dari loyalitas kepada bangsa menjadi loyalitas kepada penguasa. Slogan nasionalisme dijadikan alat untuk menekan dan mengelabui rakyat. Semakin semrawutnya masalah ini sampai sekarang menjadi bukti berikutnya bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki nasionalisme sama sekali melainkan egoisme belaka. Contoh lain dari mempolitisir pendidikan adalah adanya mata pelajaran yang pada intinya pengulangan dari mata pelajaran yang lain, seperti PSPB yang seharusnya sudah cukup dengan pelajaran PMP dan sejarah. Namun karena pelajaran tersebut menguntungkan penguasa maka harus dipelajari.

Untuk menghindari masalah-masalah tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan dikembangkan, sehinga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan masyarakat umumnya harus dilibatkan.
Beberapa faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan:
1.    Guru 
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di
luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan. Keterlibatan guru mulai dari perencanaan, pembaharuan pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Oleh karena itu, dalam suatu pembaharuan pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya.
2.    Siswa
Siswa sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar juga memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses perubahan dan pembaharuan pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam pembaharuan  pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru.

3.    Kurikulum
Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pembaharuan  pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada didalamya, maka pembaharuan pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembaharuan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan.
4.    Fasilitas
Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembaharuan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan pembaharuan yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembaharuan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya.
5.    Lingkup Sosial Masyarakat
Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembaharuan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, pembaharuan pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan.


PENUTUP
    Pembaharuan pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara, pelaksana seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Plato, filosof Yunani (428 - 437 M) mengatakan bahwa para pendidik harus serius menggarap pendidikan karena pendidikan itu membuat orang menjadi lebih baik dan tentu akan berperilaku baik pula.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Karakteristik Kepala Sekolah Ideal


Berikut adalah Karakterikstik Kepala Sekolah yang Tangguh(ideal), antara lain:
a)      Memiliki Visi dan Misi dan Strategi yang Jelas
b)      Mampu mengkoordinasi dan menyerasikan Sumber Daya dengan tujuan
c)      Mampu mengambil Keputusan secara Terampil
d)     Toleran terhadap Perbedaan pada Setiap Orang tetapi Tidak Toleranterhadap Orang-Orang yang Meremehkan Kualitas,Prestasi,Standar,dan Nilai-nilai
e)      Memobilisasi Sumber daya
f)       Memerangi Musuh-Musuh Kepala Sekolah
g)      Menggunakan Sistem sebagai Cara Berfikir,Mengelola dan Menganalisis Sekolah
h)      Menggunakan Input Menejemen
i)        Menjalankan Perannya sebagai Menejer
j)        Melaksanakan Dimensi-dimensi Tugas,Proses,Lingkungan,dan Ketrampilan Personal
k)      Menjalankan Gejala Empat Serangkai, yaitu:
i)        Merumuskan sasaran,
ii)      Memilih fungsi-fungsi yang di perlukan untuk mencapai sasaran
iii)    Melakukan Analisis SWOT
iv)    Mengupayakan Langkah-Langkah untuk Meniadakan Persoalan
l)        Menggalang Teamworkyang cerdas dan Kompak
m)    Mendorong Kegiatan-KegiatanKreatif
n)      Menciptakan Sekolah Belajar
o)      Menerapkan Menejmen Berbasis Sekolah
p)      Memusatkan Perhatian pada Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
q)      Memberdayakan Sekolah

Kepala Sekolah pada Kenyataannya
Seorang pemimpin tertinggi pada institusi pendidikan baik pad tingkat SD sampai SLTA, baik sekolah yang “berplat merah maupun berplat kuning” disebut sebagai kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan karir tertinggi dari seorang guru, jika hal tersebut dikatakan karir tentunya. Penunjukkan dan pengangkatan kepala sekolah harus bahkan wajib memenuhi persyaratan yang sangat banyak. Persyaratan yang baku tersebut diantaranya pernah menjadi salah satu pembina, wakil kepala sekolah, menguasai berbagai manajemen sekolah, mampu memimpin, berwibawa, adil, mampu melaksanakan 12 langkah kepemimpinan, mampu mewujudkan visi dan misi sekolah dan kalau boleh penulis menambahkan wajib mengikuti uji kelayakan.
Namun pada saat ini jabatan kepala sekolah tidak lagi jabatan professional tetapi sudah merupakan jabatan politis, dan sudah mengabaikan syarat-syarat diatas. Dan inilah salah satu penyebab mutu pendidikan kita jalan ditempat bahkan cenderung semakin merosot.
Masalah
Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada sebuah sekolah, semua peran serta stakeholder (pemangku kepentingan) baik pemerintah, masyarakat maupun guru harus bahu membahu. Disamping itu peran tanaga kependidikan haruslah menjadi tulang punggung utama.
Dan sebuah institusi pendidikan yang dikatan bermutu dapat dilihat dari prosentase kelulusan yang tinggi, banyaknya lulusan yang diterima di perguruan tinggi, sekolah yang aman, nyaman dan kondusif, tenaga pendidik yang berkualitas dan banyak indikator-indikator lainnya. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu pada sebuah sekolah adalah peran seorang kepala sekolah sebagai Top Manager.
Namun pada saat ini, banyak sekali kita menyaksikan seorang kepala sekolah yang gagal memimpin sekolah yang dipimpinnya menjadi sekolah yang bermutu. Sehingga muncul pendapat dari beberapa guru bahwa “sekolah tanpa guru tidak akan jalan tetapi sekolah tanpa kehadiran kepala sekolah asalkan ada guru maka sekolah tetap jalan. Jadi saat ini kehadiran seorang kepala sekolah dianggap sudah tidak terlalu berpengaruh.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena seorang yang ditunjuk menjadi kepala sekolah pada umunya hanya memenuhi persyaratan administrasi saja dan memiliki kemampuan dasar diantaranya :
  1. Kemampuan Administrasi
Hal ini dapat kita lihat pada salah satu contoh kecil saja, seperti tidak memili program kerja yang jelas, sering mengadakan rapat namun hasilnya tidak jelas. Dan tidak memiliki agenda rapat yang teratur padahal rapatnya memakan waktu berjam-jam. Ketika keluar dari ruang rapat para guru masih bertanya-tanya apa yang kita kerjakan tadi? Apa keputusannya? Walaupun ada keputusan yang dihasilkan, tapi jarang sekali terlaksanakan dengan baik. Disamping itu banyak kita temui pembuatan SK yang berulang-ulang karena keliru nama, NIP, tujuan, tugas, mata pelajaran, dan lain-lain yang seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika kepala sekolah lebih teliti.
2.      Kemampuan Kurikulum
Kita sering menjumpai guru yang kebingungan pada saat berada di kelas karena mengajari peserta didik dengan mata pelajaran yang ia sendiri tidak mengasainya, yang pada akhirnya terjadilah PBM dan KBM bohong-bohongan karena kepala sekolah menyerahkan pembagian tugas mengajar kepada wakil bidang kurikulum tanpa mempertimbangkan kemampuan yang bersifat kecenderungan. Disamping itu dalam hal pendelegasian tugas-tugas tertentu kepada seseorang berdasarkan senang atau tidak senang (pilih-pilih tebu).
Kemudian penempatan guru di kelas-kelas tertentu pada mata pelajaran yang sama tanpa mempertimbangkan keadaan, situasi dan suasana kelas karena ada kelas yang harus mendapat perhatian khusus.
3.      Kemampuan Memimpin
Setiap guru memiliki masalah yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda. Kadang-kadang tugas guru sering terganggu karena yang bersangkutan sedang menghadapi masalah dari rumah dan terbawa sampai ke sekolah. Dan mungkin saja ada guru yang sering tidak hadir karena ada sesuatu masalah. Oleh pimpinan, guru yang seperti itu langsung di cap guru pemalas atau guru yang tidak mampu mengajar, hal ini sangat keliru.
Menghadapi kasus yang seperti inilah diperlukan peran kepala sekolah sebagai orang yang tut wuri handayani, mengayomi, kadang-kadang sebagai bapak, membimbing, dan sekaligus mengarahkan.
Pemecahan Masalah
1.      Menguasai Adiministrasi
Seseorang yang ditunjuk sebagai kepala sekolah wajib menguasai berbagai bentuk administrasi sekolah mulai dari administrasi umum sampai pada administrasi yang bersifat khusus.
Administrasi umum diantaranya  surat masuk, surat keluar, buku agenda rapat, buku tamu pada piket guru, buku tama pada ruangan kepala sekolah, pengarsipan surat-surat masuk dari manapun asalnya harus diperlihatkan dan diserahkan kepada kepala sekolah kemudia oleh kepala sekolah menyerahkan  surat tersebut sesuai dengan tujuannya. Misalnya surat tersebut untuk undangan kegiatan olahraga diserahkan ke guru olahraga dengan membuat Acc jika memungkinkan untuk diikuti. Begitu juga surat keluar dikonsepkan oleh Tata Usaha (TU) dan diperlihatkan kepada kepala sekolah untuk di cek kebenarannya.
Sedangkan administrasi yang bersifat khusus diantaranya pembuatan SK-SK harus dipastikan dengan benar sebelum diperbanyak baik nama, NIP,tugas, golongan tentunya di cek terlebih dahulu oleh kepala sekola. Dan yang tidak kalah pentingnya kepala sekolah harus membuat program kerja yang jelas, agenda rapat yang pasti.
2.      Mengusai Kurikulum
Seorang kepala sekolah harus mampu melihat potensi dan kemampuan seorang guru. Dan pada suatu sekolah tidak semua mata pelajaran terpenuhi oleh guru yang benar-benar jurusannya. Oleh sebab itu kepala sekola memberikan tugas kepada seorang guru berdasarkan kecenderungan. Misalnya seseorang yang lebih menguasai komputer walaupun tidak memeliki ijazah komputer ditugaskan menjadi guru TIK. Disamping itu pembagian jumlah jam mengajar harus adil. Tenaga honorer yang ingin mengabdi dan membantu di sekolah harus benar-benar mampu, jika diperlukan harus melalui rangkaian prosedur yang benar agar sekalah benar-benar merasa terbantu.