I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
II. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985). Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
III. LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSI
Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.
A. Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.
C. Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
D. Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
IV. KONTROVERSI PENDIDIKAN INKLUSI
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).
A. Pro Inklusi
Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain sebagai berikut:
• Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
• Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
• Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak;
• Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;
• Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.
B. Kontra inklusi
Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:
• Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
• Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;
• Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;
• Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Oleh karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
C. Inklusi Moderat
Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti bahwa iswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi. (slbn-cileunyi.sch.id)
V. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI BERBASIS SEKOLAH PADA SEKOLAH LUAR BIASA
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya.
VI. IMPLIKASI MANAJERIAL INKLUSI
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:
1. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosialekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.
2. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
Pembelajaran di kelas inklusi akan bergerser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa, dan bahan belajar tematik.
3. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar dan mengajar dengan yang lain.
4. Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
Meskipun guru selalu berinteraksi dengan orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi adalah pengejaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan paraprofessional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.
5. Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.
VII. MODEL PENDIDIKAN INKLUSI PADA SEKOLAH LUAR BIASA
Alternatif Penempatan
Melihat kondisi dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000). Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada:
1. jumlah anak berkelainan yang akan dilayani,
2. jenis kelainan masing-masing anak,
3. gradasi (tingkat) kelainan anak,
4. ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta
5. sarana-prasara yang tersedia.
VII. KOMPONEN PENDUKUNG PENDIDIKAN INKLUSI
Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar; sementara itu, mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1. Input siswa,
Kemampuan awal dan karakteristik siswa menjadi acuan utama dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Siapa input siswanya, apakah semua peserta didik berkelainan dapat mengikuti kelas reguler bercampur anak lainnya (anak normal)?
b. Bagaimana identifikasinya?
c. Apa alat identifikasi yang digunakan?
d. Siapa yang terlibat dalam identifikasi
2. Kurikulum (bahan ajar),
Kurikulum (bahan ajar) yang dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
• Bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan anak yang beragam dalam kelas reguler yang sama?
• Siapa yang mengembangkannya?
• Bagaimana pengembangannya?
Adapun contoh kurikulum sekolah luar biasa (SLB) diantara lain ;
Kurikulum
Pendekatan komunikasi menggunakan komunikasi secara oral-aural (bukan isyarat) dan metode pemerolehan bahasa Metode Maternal Reflektif (MMR/MPR) yang dicontoh dari Universitas Sint Micheel Gestel Belanda. Hal ini memungkinkan siswa mampu berbahasa dan berkomunikasi sebagai dasar untuk menguasai kompetensi yang lain.
Bidang kekhususan yaitu dengan memberikan treatment Bina Persepsi Bunyi dan Irama (BPBI), Auditory Verbal dan Bina Wicara secara kontinyu dan konsisten.
Bidang pengembangan keterampilan :
• Tata boga
• Tata busana
• Tata rias dan kecantikan
• Membatik
• Sablon
• Komputer
• Melukis
• Sanggar kreatifitas
• Mulai dari produk sampai pada pemasarannya.
• Bidang Pengembangan Budi Pekerti (mental spiritual) meliputi :
1) Kegiatan kepramukaan
2) Pembinaan seksualitas
3) Keagamaaan (Keyakinan)
4) Budi Pekerti
5) Widyawisata, filltrip, dll.
Jenjang Pendidikan
Jenjang Pendidikan dan Program Unggulan Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu memiliki jenjang :
1. Treatment dan Therapy tumbuh kembang anak yaitu penanganan pendidikan anak bermasalah dalam perkembangannya.
2. Jenjang Taman Latihan (Taman/Playgroup) untuk anak 1,5 – 4 tahun.
a) Jenjang TKLB untuk anak 4 – 6 tahun.
b) Jenjang SDLB untuk anak 7 – 15 tahun.
c) Jenjang SMPLB untuk anak 16 – 18 tahun.
d) Jenjang SMALB untuk anak 18 – 21 tahun.
3. Waktu belajar :
• untuk jenjang TLO Pagi hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 10.00.
• untuk jenjang TLO Siang hari Senin – Jumat, pukul 10.00 – 12.00.
• untuk jenjang TKLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenjang SDLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenjang SLTPLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenjang SMALB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenang Kelas Khusus hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
Dari seluruh jenjang tersebut di atas yang menjadi program andalan (core business) adalah “Kemampuan Wicara” siswa tunarungu. Dasar pemilihan Core Business adalah :
a. Program yang diminati oleh stakeholders (siswa, orangtua siswa) dan sekolah calon integrasi.
b. Prestasi Wicara yang dicapai dalam proses pembelajaran dan pelatihan.
c. Prestasi Wicara yang dicapai dalam upaya berintegrasi pada sekolah umum.
d. Pemanfaatan dan pengoptimalan kepekaan sisa-sisa pendengaran siswa.
e. Tersedianya kualitas tenaga kependidikan.
4. Tenaga kependidikan (guru/instruktur/ pelatih),
Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih/therapist dsb.) yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa.
5. Sarana-prasarana,
Sarana-prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah dikembangkan.
- Sarana-Prasarana Umum
a. Ruang kelas beserta perlengkapannya (perabotnya);
b. Ruang praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya;
c. Ruang perpustakaan, beserta perangkatnya;
d. Ruang serbaguna, beserta perlengkapannya;
e. Ruang BP/BK, beserta perlengkapannya;
f. Ruang UKS, beserta perangkatnya;
g. Ruang Kepala Sekolah, Guru, dan Tata Usaha, beserta perabotnya;
h. Lapangan olahraga, beserta peralatannya;
i. Toilet;
j. Ruang ibadah, beserta perangkatnya;
k. Ruang kantin
- Sarana Khusus
a. Alat Asesmen
• SVR Trial Lens Set
• Snellen Chart
• Ishihara Test
• Snellen Chart Electronic
b. Orientasi dan Mobilitas
• Tongkat panjang
• Tongkat lipat
• Blind fold
• Bola bunyi
• Tutup kepala
c. Alat Bantu Pelajaran/Akademik
• Globe Timbul
• Peta Timbul
• Abacus
• Penggaris Braille
• Blokies (Sejumlah dadu dengan simbol braille dengan papan berkotak)
• Puzzle Ball
• Papan Baca
• Model Anatomi Mata
• Meteran Braille
• Puzzle Buah-buahan
• Puzzle Binatang
• Kompas Braille
• Talking Watch
• Gelas Rasa
• Botol Aroma
• Bentuk-bentuk Geometri
• Collor Sorting Box
• Braille Kit
• Reglets & Stylush
• Mesin Tik Biasa
• Mesin Tik Braille
• Komputer dan Printer Braille
• Kompas bicara
• Kamus bicara
d. Alat Latihan Fisik
• Catur Tunanetra
• Bridge Tunanetra
• Sepak Bola dengan Bola Berbunyi
• Papan Keseimbangan
• Power Raider
• Static Bycicle
6. Dana,
Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah reguler memerlukan dukungan dana yang memadai. Untuk itu dapat ditanggung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa, serta sumbangan suka rela dari berbagai pihak.
Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Dari mana sumber dana untuk operasional sekolah inklusi?
b. Untuk keperluan apa saja dana tersebut?
7. Manajemen (pengelolaan),
Penyelenggaraan pendidikan inklusi memerlukan manajemen yang berbeda dengan sekolah reguler. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a. Bagaimana manajemennya?
b. Siapa saja yang dilibatkan?
c. Apa tugas dan fungsinya?
8. Lingkungan (sekolah, masyarakat, dan keluarga),
Agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan maka lingkungan belajar dibuat sedemikian rupa sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung secara aman dan nyaman. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a. Bagaimana lingkungan sekolahnya?
b. Bagaimana lingkungan sekitaranya?
c. Bagaimana lingkungan rumah tangganya?
d. Upaya apa yang dilakukan dalam rangka meningkatkan peranserta masyarakat dan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan di sini?
9. Proses Belajar Mengajar
Proses belajar-mengajar lebih banyak memberikan kesempatan belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Implikasinya yang perlu dipikirkan adalah akomodasi bagi murid berkebutuhan khusus berarti bahwa sebaiknya Anda membuat instruksi Anda seefektif mungkin. Berikut beberapa cara melakukannya:
a) Berfokuslah pada hal-hal inti
Ini berarti: guru dapat membantu murid lebih mudah belajar, jika ia sendiri memahami apa hal inti ini yang perlu diketahui atau mampu dilakukan murid setelah suatu pelajaran selesai. Sebagian materi pengajaran memberikan informasi ini, tetapi penting bahwa Anda memahami apa tepatnya yang ingin Anda ajarkan kepada murid.
b) Gunakan langkah dan strategi yang jelas
Ini berarti: guru dapat membantu murid lebih mudah mempelajari konsep atau keterampilan baru, dengan cara mengajari mereka mengikuti serangkaian prosedur atau langkah. Langkah-Iangkah ini sebaiknya mencerminkan cara yang efisien dan efektif untuk menerapkan sebuah konsep atau menyelesaikan sebuah tugas, sebagaimana yang dilakukan seorang ahli.
c) Memberikan bantuan sementara
Bantuan sementara bisa berupa hal-hal seperti:
• Petunjuk lisan
• Menstabilo informasi atau diagram secara visual
• Jenis bantuan lain yang digunakan murid untuk mulai membangun pengetahuan dan kecakapan mereka dalam sebuah keterempilan.
d) Kaitkan hal yang sedang dipelajari dengan pengetahuan latar
e) Ulangi pelajaran agar murid fasih dan mampu melakukan generalisasi
KESIMPULAN
Jadi pada dasarnya pendidikan berbasis sekolah pada sekolah luar biasa adalah sebuah wadah yang progresif untuk menampung anak-anak yang mempunyai kelainan. Dengan adanya program pendidikan inklusi yang berbasis sekolah pada sekolah luar biasa diharapkan dapat menjawab pertanyaan dari kalangan masyarakat yang mempunyai anak yang cacat. Tapi itu semua tidak akan terwujud ketika semua komponen yang bersangkutan dengan sekolah luar biasa tidak terpunuhi.
Adapun standar minimum komponen untuk mencapai target bahwa pengelolaan pendidikan inklusi sekolah luar biasa dapat terwujud diantara lain :
• Struktur kepengurusan diharapkan standar organisasi
• Manajerial bahan pengajar (kirikilum), dan pendidiknya harus sesuai dengan kapasitasnya.
• Sarana dan prasarana yang menunjang.
• Dari segi lingkungan diharapkan seimbang, akademik, keluarga, dan masyarakat.
• Dari segi finansial yang cukup.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, ada kalanya harapan pemakalah terhadap perkembangan dunia pendidikan sekolah luar biasa (SLB) mohon pemerintah untuk mananggapi dengan serius agar warga masyarakat yang telah banyak mengalami kelainan dapat di didik sesuai potensi masing-masing. Serta dapat mengatasi atau manjawab permasalahan yang muncul dari dampak perkembangan globalisasi yang memicu untuk selalu siap bersaing.
A. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
II. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985). Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
III. LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSI
Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.
A. Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.
C. Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
D. Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
IV. KONTROVERSI PENDIDIKAN INKLUSI
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).
A. Pro Inklusi
Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain sebagai berikut:
• Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
• Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
• Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak;
• Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;
• Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.
B. Kontra inklusi
Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:
• Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
• Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;
• Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;
• Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Oleh karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
C. Inklusi Moderat
Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti bahwa iswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi. (slbn-cileunyi.sch.id)
V. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI BERBASIS SEKOLAH PADA SEKOLAH LUAR BIASA
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya.
VI. IMPLIKASI MANAJERIAL INKLUSI
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:
1. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosialekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.
2. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
Pembelajaran di kelas inklusi akan bergerser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa, dan bahan belajar tematik.
3. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar dan mengajar dengan yang lain.
4. Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
Meskipun guru selalu berinteraksi dengan orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi adalah pengejaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan paraprofessional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.
5. Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.
VII. MODEL PENDIDIKAN INKLUSI PADA SEKOLAH LUAR BIASA
Alternatif Penempatan
Melihat kondisi dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000). Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada:
1. jumlah anak berkelainan yang akan dilayani,
2. jenis kelainan masing-masing anak,
3. gradasi (tingkat) kelainan anak,
4. ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta
5. sarana-prasara yang tersedia.
VII. KOMPONEN PENDUKUNG PENDIDIKAN INKLUSI
Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar; sementara itu, mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1. Input siswa,
Kemampuan awal dan karakteristik siswa menjadi acuan utama dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Siapa input siswanya, apakah semua peserta didik berkelainan dapat mengikuti kelas reguler bercampur anak lainnya (anak normal)?
b. Bagaimana identifikasinya?
c. Apa alat identifikasi yang digunakan?
d. Siapa yang terlibat dalam identifikasi
2. Kurikulum (bahan ajar),
Kurikulum (bahan ajar) yang dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
• Bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan anak yang beragam dalam kelas reguler yang sama?
• Siapa yang mengembangkannya?
• Bagaimana pengembangannya?
Adapun contoh kurikulum sekolah luar biasa (SLB) diantara lain ;
Kurikulum
Pendekatan komunikasi menggunakan komunikasi secara oral-aural (bukan isyarat) dan metode pemerolehan bahasa Metode Maternal Reflektif (MMR/MPR) yang dicontoh dari Universitas Sint Micheel Gestel Belanda. Hal ini memungkinkan siswa mampu berbahasa dan berkomunikasi sebagai dasar untuk menguasai kompetensi yang lain.
Bidang kekhususan yaitu dengan memberikan treatment Bina Persepsi Bunyi dan Irama (BPBI), Auditory Verbal dan Bina Wicara secara kontinyu dan konsisten.
Bidang pengembangan keterampilan :
• Tata boga
• Tata busana
• Tata rias dan kecantikan
• Membatik
• Sablon
• Komputer
• Melukis
• Sanggar kreatifitas
• Mulai dari produk sampai pada pemasarannya.
• Bidang Pengembangan Budi Pekerti (mental spiritual) meliputi :
1) Kegiatan kepramukaan
2) Pembinaan seksualitas
3) Keagamaaan (Keyakinan)
4) Budi Pekerti
5) Widyawisata, filltrip, dll.
Jenjang Pendidikan
Jenjang Pendidikan dan Program Unggulan Lembaga Pendidikan Anak Tunarungu memiliki jenjang :
1. Treatment dan Therapy tumbuh kembang anak yaitu penanganan pendidikan anak bermasalah dalam perkembangannya.
2. Jenjang Taman Latihan (Taman/Playgroup) untuk anak 1,5 – 4 tahun.
a) Jenjang TKLB untuk anak 4 – 6 tahun.
b) Jenjang SDLB untuk anak 7 – 15 tahun.
c) Jenjang SMPLB untuk anak 16 – 18 tahun.
d) Jenjang SMALB untuk anak 18 – 21 tahun.
3. Waktu belajar :
• untuk jenjang TLO Pagi hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 10.00.
• untuk jenjang TLO Siang hari Senin – Jumat, pukul 10.00 – 12.00.
• untuk jenjang TKLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenjang SDLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenjang SLTPLB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenjang SMALB hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
• untuk jenang Kelas Khusus hari Senin – Jumat, pukul 7.40 – 15.00.
Dari seluruh jenjang tersebut di atas yang menjadi program andalan (core business) adalah “Kemampuan Wicara” siswa tunarungu. Dasar pemilihan Core Business adalah :
a. Program yang diminati oleh stakeholders (siswa, orangtua siswa) dan sekolah calon integrasi.
b. Prestasi Wicara yang dicapai dalam proses pembelajaran dan pelatihan.
c. Prestasi Wicara yang dicapai dalam upaya berintegrasi pada sekolah umum.
d. Pemanfaatan dan pengoptimalan kepekaan sisa-sisa pendengaran siswa.
e. Tersedianya kualitas tenaga kependidikan.
4. Tenaga kependidikan (guru/instruktur/ pelatih),
Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih/therapist dsb.) yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa.
5. Sarana-prasarana,
Sarana-prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah dikembangkan.
- Sarana-Prasarana Umum
a. Ruang kelas beserta perlengkapannya (perabotnya);
b. Ruang praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya;
c. Ruang perpustakaan, beserta perangkatnya;
d. Ruang serbaguna, beserta perlengkapannya;
e. Ruang BP/BK, beserta perlengkapannya;
f. Ruang UKS, beserta perangkatnya;
g. Ruang Kepala Sekolah, Guru, dan Tata Usaha, beserta perabotnya;
h. Lapangan olahraga, beserta peralatannya;
i. Toilet;
j. Ruang ibadah, beserta perangkatnya;
k. Ruang kantin
- Sarana Khusus
a. Alat Asesmen
• SVR Trial Lens Set
• Snellen Chart
• Ishihara Test
• Snellen Chart Electronic
b. Orientasi dan Mobilitas
• Tongkat panjang
• Tongkat lipat
• Blind fold
• Bola bunyi
• Tutup kepala
c. Alat Bantu Pelajaran/Akademik
• Globe Timbul
• Peta Timbul
• Abacus
• Penggaris Braille
• Blokies (Sejumlah dadu dengan simbol braille dengan papan berkotak)
• Puzzle Ball
• Papan Baca
• Model Anatomi Mata
• Meteran Braille
• Puzzle Buah-buahan
• Puzzle Binatang
• Kompas Braille
• Talking Watch
• Gelas Rasa
• Botol Aroma
• Bentuk-bentuk Geometri
• Collor Sorting Box
• Braille Kit
• Reglets & Stylush
• Mesin Tik Biasa
• Mesin Tik Braille
• Komputer dan Printer Braille
• Kompas bicara
• Kamus bicara
d. Alat Latihan Fisik
• Catur Tunanetra
• Bridge Tunanetra
• Sepak Bola dengan Bola Berbunyi
• Papan Keseimbangan
• Power Raider
• Static Bycicle
6. Dana,
Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah reguler memerlukan dukungan dana yang memadai. Untuk itu dapat ditanggung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa, serta sumbangan suka rela dari berbagai pihak.
Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Dari mana sumber dana untuk operasional sekolah inklusi?
b. Untuk keperluan apa saja dana tersebut?
7. Manajemen (pengelolaan),
Penyelenggaraan pendidikan inklusi memerlukan manajemen yang berbeda dengan sekolah reguler. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a. Bagaimana manajemennya?
b. Siapa saja yang dilibatkan?
c. Apa tugas dan fungsinya?
8. Lingkungan (sekolah, masyarakat, dan keluarga),
Agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan maka lingkungan belajar dibuat sedemikian rupa sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung secara aman dan nyaman. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a. Bagaimana lingkungan sekolahnya?
b. Bagaimana lingkungan sekitaranya?
c. Bagaimana lingkungan rumah tangganya?
d. Upaya apa yang dilakukan dalam rangka meningkatkan peranserta masyarakat dan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan di sini?
9. Proses Belajar Mengajar
Proses belajar-mengajar lebih banyak memberikan kesempatan belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Implikasinya yang perlu dipikirkan adalah akomodasi bagi murid berkebutuhan khusus berarti bahwa sebaiknya Anda membuat instruksi Anda seefektif mungkin. Berikut beberapa cara melakukannya:
a) Berfokuslah pada hal-hal inti
Ini berarti: guru dapat membantu murid lebih mudah belajar, jika ia sendiri memahami apa hal inti ini yang perlu diketahui atau mampu dilakukan murid setelah suatu pelajaran selesai. Sebagian materi pengajaran memberikan informasi ini, tetapi penting bahwa Anda memahami apa tepatnya yang ingin Anda ajarkan kepada murid.
b) Gunakan langkah dan strategi yang jelas
Ini berarti: guru dapat membantu murid lebih mudah mempelajari konsep atau keterampilan baru, dengan cara mengajari mereka mengikuti serangkaian prosedur atau langkah. Langkah-Iangkah ini sebaiknya mencerminkan cara yang efisien dan efektif untuk menerapkan sebuah konsep atau menyelesaikan sebuah tugas, sebagaimana yang dilakukan seorang ahli.
c) Memberikan bantuan sementara
Bantuan sementara bisa berupa hal-hal seperti:
• Petunjuk lisan
• Menstabilo informasi atau diagram secara visual
• Jenis bantuan lain yang digunakan murid untuk mulai membangun pengetahuan dan kecakapan mereka dalam sebuah keterempilan.
d) Kaitkan hal yang sedang dipelajari dengan pengetahuan latar
e) Ulangi pelajaran agar murid fasih dan mampu melakukan generalisasi
KESIMPULAN
Jadi pada dasarnya pendidikan berbasis sekolah pada sekolah luar biasa adalah sebuah wadah yang progresif untuk menampung anak-anak yang mempunyai kelainan. Dengan adanya program pendidikan inklusi yang berbasis sekolah pada sekolah luar biasa diharapkan dapat menjawab pertanyaan dari kalangan masyarakat yang mempunyai anak yang cacat. Tapi itu semua tidak akan terwujud ketika semua komponen yang bersangkutan dengan sekolah luar biasa tidak terpunuhi.
Adapun standar minimum komponen untuk mencapai target bahwa pengelolaan pendidikan inklusi sekolah luar biasa dapat terwujud diantara lain :
• Struktur kepengurusan diharapkan standar organisasi
• Manajerial bahan pengajar (kirikilum), dan pendidiknya harus sesuai dengan kapasitasnya.
• Sarana dan prasarana yang menunjang.
• Dari segi lingkungan diharapkan seimbang, akademik, keluarga, dan masyarakat.
• Dari segi finansial yang cukup.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, ada kalanya harapan pemakalah terhadap perkembangan dunia pendidikan sekolah luar biasa (SLB) mohon pemerintah untuk mananggapi dengan serius agar warga masyarakat yang telah banyak mengalami kelainan dapat di didik sesuai potensi masing-masing. Serta dapat mengatasi atau manjawab permasalahan yang muncul dari dampak perkembangan globalisasi yang memicu untuk selalu siap bersaing.